Bersama YuKoreeda Menjelajahi Tempat Fotografi di Asia Tenggara | ISSUE #39

Saya memilih tempat di mana identitas dan budaya komunitas dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Saya meneliti tempat-tempat yang tidak dapat ditemukan di kota, seperti komunitas yang dihuni oleh kelompok etnis minoritas atau di mana kepercayaan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, saya melakukan penelitian mendalam tentang adat istiadat, tabu, dan sejarah yang menjadi dasar budaya setempat. Mengetahui atau tidak mengetahui kebanggaan atau masa lalu yang menyedihkan dari suatu negara dapat sangat mempengaruhi foto yang dihasilkan. Untuk fotografi lanskap, saya menentukan lokasi secara umum sebelum keberangkatan dan menggunakan aplikasi bernama PhotoPill untuk menentukan lokasi fotografi yang lebih rinci setelah tiba di tempat. Untuk fotografi manusia, saya lebih suka tidak menentukan lokasi secara rinci dan mengambil foto orang yang saya temui secara kebetulan di tempat.

Karena sejarahnya sebagai tempat peristirahatan yang dikembangkan oleh orang Prancis selama masa kolonial, kota ini telah menjadi resor yang nyaman untuk dikunjungi. Namun, di luar pusat kota, terdapat pemukiman kelompok etnis minoritas pegunungan seperti suku Hmong dan Dao Merah.

Orang-orangnya sangat ramah dan sering bersedia menjadi model, yang sangat menyenangkan bagi mereka yang suka fotografi manusia. Ada banyak hal menarik seperti bordir yang indah, kerbau air yang berkeliaran, dan kehidupan yang berfokus pada pertanian. Terasering yang membentang sejauh mata memandang juga sangat indah, dan pemandangan yang menakjubkan di pagi atau sore hari membuat tempat ini juga cocok untuk fotografi lanskap.

Cuaca sering berubah, jadi persiapan untuk hujan sangat penting. Selain itu, jarak dari kota Sapa ke setiap pemukiman sekitar 10 km dan tidak ada taksi mobil, jadi menyewa sepeda motor atau menyewa pengemudi sepeda motor adalah suatu keharusan. Karena jalannya sangat berbukit, saya tidak menyarankan mengendarai sepeda motor sendiri (tertawa). Saya melindungi peralatan dengan bahan pelindung untuk mengantisipasi jatuh.

Ini adalah kota warisan dunia yang dikenal sebagai 'surga terakhir di Asia Tenggara'. Ritual alms-giving yang dilakukan saat matahari terbit, di mana para biksu dari kuil-kuil di seluruh kota berjalan dalam kelompok beranggotakan 10-15 orang, mewarnai kota dengan warna oranye jubah mereka untuk waktu yang singkat. Ketika beberapa kelompok bertemu, mereka membentuk barisan yang sangat panjang, yang sangat mengesankan.

Karena dilakukan di pagi hari, kondisi pencahayaan sangat baik. Pemandangan orang-orang lokal yang berdoa setelah alms-giving memiliki keindahan yang tak terlukiskan. Selain itu, banyak bangunan dari era kolonial Prancis yang masih berdiri, menciptakan pemandangan kota yang unik yang merupakan perpaduan antara Asia Tenggara dan Eropa.

Diumumkan agar tidak mendekati biksu dalam jarak 3 meter, jadi saya menggunakan lensa telefoto 70-200mm. Terutama karena saya seorang wanita, ada lebih banyak aturan seperti tidak menatap mata, tidak berbicara, dan tidak menyentuh biksu. Selain itu, alms-giving hanya berlangsung sekitar satu jam, jadi lebih baik memeriksa rute sebelumnya atau menginap beberapa malam untuk meningkatkan peluang.

Air terjun ini dikenal dengan airnya yang berwarna zamrud yang indah. Kontras dengan hutan lebat sangat indah, dan airnya cukup jernih dan bersih untuk berenang. Meskipun tidak memiliki perbedaan ketinggian yang besar, keindahan yang tenang dan permukaan air yang berkilauan di bawah sinar matahari yang menembus dedaunan masih teringat jelas dalam ingatan saya.

Banyak bagian yang terhalang oleh pepohonan, jadi menyenangkan untuk mengambil foto dengan eksposur panjang untuk menangkap aliran air. Hutan di sekitarnya memiliki tanaman yang unik, jadi saya bisa menikmati dan memotret alam secara keseluruhan, bukan hanya air terjun.

Saya mengunjungi saat musim kemarau, tetapi dikatakan bahwa saat musim hujan, volume air meningkat dan lebih mengesankan. Karena ini adalah tempat yang populer di kalangan wisatawan, lebih baik datang dengan waktu yang cukup untuk mengambil foto tanpa orang. Ada bus bersama dari kota Luang Prabang yang memakan waktu sekitar satu jam. Karena jalan menuju air terjun tidak terlalu terawat, lebih baik memilih minivan daripada tuk-tuk untuk keamanan peralatan.

Saya ingin terus menantang diri untuk memotret di berbagai negara dan wilayah. Pada bulan Oktober, saya berencana untuk pergi ke Mongolia, yang telah menjadi impian saya sejak kecil! Baru-baru ini, saya juga berkesempatan mengunjungi Ine di Kyoto, dan menyadari bahwa budaya unik juga berkembang di sana. Saya ingin aktif memotret acara budaya di Jepang. Dengan motto 'mengambil foto yang memberikan nilai tambah bagi daerah tersebut', saya ingin banyak orang melihat karya saya, menyampaikan daya tarik daerah tersebut melalui karya saya, dan berkontribusi pada pemahaman budaya.